Rabu, 18 September 2013

Jujurlah, Meskipun Ia adalah Sahabatmu

Apa itu sahabat? Siapa itu sahabat? Yang bagaimana yang bisa menjadi sahabat? Kapan bisa menemukan sahabat?

Pertanyaan seperti itu yang kadang mampir ke pikiranku. Mau di jawab sendiri? Engga mungkin. Harus ada partner yang membantu menjawabnya dan itu adalah orang yang kita panggil sahabat. Sahabat itu selalu berguna. Bohonglah kalau kalian bilang kalian engga memanfaatkan sahabat kalian. Tapi tunggu! Memanfaatkan disini konteksnya positif, bukan yang negatif semacam ngebabuin sohib sendiri. Contoh yang positif itu yang paling gampang adalah ketika kita engga bisa ngerjain PR, itulah gunanya sahabat. Kalian lagi sedih/punya masalah/susah? Disitulah gunanya sahabat. Bohong besar kalau kamu bilang kamu bisa hidup tanpa seorang sahabat. INGAT! Sahabat sama Teman itu beda. Teman itu orang yang ikut bersedih kalau kalian sedih. Sahabat adalah orang yang menarikmu dari rasa sedih itu. That’s why, menemukan sahabat jauh lebih susah daripada menemukan teman.

Honestly, aku tipe orang yang mudah bergaul dengan orang baru. Tapi kalau untuk masalah sharing tentang hidup, Cuma bisa diitung jari ke siapa aku cerita. Dan aku masih inget banget gimana pertama kali aku dapat sahabat. waktu itu, aku masih SMP kelas 7. Ya intinya waktu dulu kelas 7 aku di bully sama hampir setengah kelas. Bisa bayangin engga sih kalau aku yang kalian kenal gini pernah di bully? Dan yang lebih kacau adalah aku di bully sama anak yang secara badan lebih kecil. Cuma ya itu, omongannya besar sih. Kalah deh.

Dari masa itulah aku ketemu anak-anak yang sampai sekarang masih kentel banget temenannya. Yah walaupun tinggal bertiga yang masih pakai putih abu-abu. Tapi kita masih enjoy aja karena kita menikmati setiap momen dalam persahabatan kita.

Sekarang, aku masih pakai putih abu-abu dan aku menemukan lagi sahabat-sahabat baru. Sahabat yang secara taraf umur sama tapi ya itu, menjadi tua adalah keharusan tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Aku maklum sih, soalnya kedewasaan macam gimana yang bisa dituntut dari anak tahun terakhir putih abu-abu? Yah walaupun banyak temen yang bilang harusnya sih anak setingkat ginian udah dewasa dan siap membuat pilihan besar. Tapi kalau anak setingkat ini terlalu dewasa dikiranya minta nikah lagi ke orang tuanya (?) ok, ini OOT.

Percaya engga kalau persahabatan itu mengenal kurva? Ada titik maksimum dan titik minimum. Titik maksimum adalah saat kita menemukan kenyamanan yang engga bisa kita dapatkan kalau engga sama mereka. Kenyamanan ini bukan yang nyaman dalam artian biasa. Kenyamanan disini adalah saat kalian mudah untuk mengutarakan apa yang kalian pikirkan tentang sahabat kalian. Mau baik atau buruk ya bilang aja, engga perlu think twice untuk mengungkapkan sebuah kejujuran.

Kalau titik minimum adalah saat kita bilang kita sahabat tapi kita cuma merasakan kenyamanan semu. Kenyamanan yang dibuat-buat biar sahabatnya seneng dan engga sakit hati. Kenyamanan yang ambigu karena di satu sisi sudah terlanjur sreg dengan suasana tapi di sisi lain hati nurani pingin jujur.

Kalau aku sendiri udah pernah di titik maksimum & di titik minimum. Merasakan bagaimana kenyamanan yang jarang ada api tersulut dan merasakan bagaimana jujur adalah hal yang tidak bisa dan tidak mungkin di beli. Dalam persahabatan, adem ayem itu kadang pura-pura mengaku sejati. Jadi, aku pribadi lebih prefer persahabatan yang ada gejolaknya daripada yang adem ayem tentram sejahtera.

Temenku juga pernah bilang kalau orang sahabatan juga kayak orang pacaran. Keterbukaan, komunikasi, kejujuran dan pengertian juga harus dimiliki mereka yang mengaku bersahabat. Sekarang, buat apa kita berkomunikasi kalau engga bisa jujur? Engga bisa terbuka? Engga bisa pengertian satu sama lain? Sama aja bohong kan? Sama aja hubungan yang engga jelas mau dibawa kemana. Hubungan yang selamanya berjalan di tempat. Hubungan yang jarang bersentuhan dengan kata perubahan ke arah lebih baik.

Sahabat itu orang yang menerima kita apa adanya. Bener banget. Sahabat dan pasangan hidup adalah orang yang menerima kita dengan segala kurang-lebihnya kita. Karena dengan kurangku akan kamu tutupi dengan lebihmu, begitu pun sebaliknya. Karena itu dalam persahabatan ada yang sifatnya banyak berbenturan tapi ada jembatan yang selalu menghubungkan.

Dalam persahabatan pasti setiap orang pernah mengalami sakit hati dengan perkataan sahabatnya. Begitu juga aku. Aku sakit hati kalau ada orang yang ngece namaku. Mungkin begitu kalian baca nama AULIA ZAHRA GHIFFARI kalian bakal bayangin orang yang setidaknya lebih anggun dari aku yang sekarang, dan aku minta maaf kalau yang kalian temui begitu mendengar nama ini adalah sosokku yang kayak gini. Tapi satu hal yang perlu kalian tau, betapa aku sangat menghargai nama yang sudah ayah ibuku kasih ke aku. Dalam nama itu, nama yang mungkin menurut kalian kurang masuk sama pemiliknya, ada doa yang dipanjatkan orang tuaku buat aku. Dan itulah kenapa aku engga suka orang yang nyinggung namaku karena sama aja menyinggung doa orang tuaku :]

Aku kadang juga engga siap dikritik. Apalagi kalau yang ngritik nylekit. Iya mungkin yang dia maksud bener tapi kadang emang akunya yang belum siap. Awalnya sakit hati, tapi setelah aku pikir lagi dikritik dikit aja masa mau sakit hati berkepanjangan? Kalau gitu terus kapan mau maju? Kapan mau membuktikan kritikan itu kalau aku juga bisa berubah ke arah lebih baik? Karena itu, sekarang aku pelan-pelan mulai mencoba jadi pribadi yang lebih baik.

Dan kadang aku juga sakit hati dengan mereka yang mengaitkan aku dengan orang yang engga aku kenal. Iya mace engga apa-apa, tapi apa jadinya kalau kamu dipace dengan orang yang engga kamu kenal? Jujur, aku awalnya biasa aja tapi makin kesini rasanya makin risih. Aku engga kenal, aku engga tau dan kenapa bisa aku dikaitin sama orang itu dan parahnya sampai disebarkan pada tempat, orang dan waktu yang tidak seharusnya? Bukannya menjaga image, tapi itu sama aja menyebarkan berita bohong tentang aku ke khalayak umum.

Dan kalau boleh jujur lagi, aku kurang nyaman dengan orang yang berani mace tapi tidak siap dipace. Kalaupun dipace, biasanya orang itu akan marah dan mendadak pergi. Yang kayak gini kadang bikin bingung. Mau dideketin takut orangnya marah tapi kalau dibiarin kita dibilang engga peka.
Aku juga kurang nyaman dengan orang yang kadang terlalu nylekit tapi begitu baru dikasih tau sedikit langsung marah. Setidaknya tolong biarkan kita menyampaikan apa yang ada di pikiran kita, baru setelah itu ditanggapi. Kalau kita yang salah tanggap, kita juga kok yang minta maaf. Sahabat itu juga orang yang bakalan nge-prevent kita dari hal yang sekiranya kurang bener. Sahabat yang patut dinilai benar adalah yang mau mengakui kesalahannya saat dia salah, mau memaafkan sahabatnya, dan mau mengikhlaskan kesalahan yang sudah terjadi. :]

Aku engga berharap punya persahabatan yang ideal, yang bisa dipuja-puji atau gimana. Aku Cuma pengin persahabatan yang jujur itu adalah menjadi kesehariannya. Jujur itu menyakitkan, tapi lebih sakit lagi kalau sebuah kejujuran Cuma dibiarin jadi kerak di kalbu. Bikin sakit. Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah :]
Aku sendiri masih jauh banget banget dari kata sempurna, very very very faraway. Karena aku sadar, banyak orang masih engga suka dan masih banyak yang punya stigma negatif tentang aku. Belum lama ini, kalau engga salah bulan Agustus sewaktu MOS, surat benci yang aku dapat adalah setengah jumlah siswa baru. Hitung aja siswa barunya 350 berarti ada lebih dari 150 orang yang benci, engga suka atau salah sangka ke aku. Itu jadi salah satu tolak ukurku. Sebelum mengkritik, ada baiknya lihatlah dirimu sendiri. Pepatah Jawa bilang “ngilo githok.”

Apa yang aku sebutkan di atas adalah salah satu cara untuk mengurangi bebanku. Aku mungkin bisa ngomong tapi bukan untuk masalah yang seperti ini. Karena itu, aku coba untuk menulisnya di blog ini. Aku harap kalian yang membacanya tidak salah tanggap. Bukannya menghakimi tapi lebih tentang berbagi pengalaman hidup yang aku miliki :]

Terakhir dan merupakan point paling penting adalah SAHABAT adalah orang yang tidak pernah mempermasalahkan kelebihan dan kekuranganmu. Seburuk-buruknya sahabat, merekalah yang Tuhan titipkan pada kalian untuk saling dijaga dan saling menjaga :]

Satu quote terakhir yang membuat aku percaya kalau persahabatan sejati itu ada,

“Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan, didengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.


Minggu, 24 Februari 2013

Cerita Hujan

Seiring dengan hujan yang terus-menerus datang di bulan Januari dan intensitasnya semakin meningkat pada bulan Februari, membuatku kembali mengingatmu.

Kau datang bersama hujan, dan kepergianmu pun diiringi oleh hujan.

Jika kedatanganmu diiringi rintik hujan dalam suasana sunyi nan syahdu, maka kepergianmu diiringi rintik hujan kesedihan.

Rintik hujan yang datang dari mataku, begitulah aku biasa menyebutnya.

Kau adalah yang pertama namun bukan yang utama.

You’re the first but not the only one.

Karena setelah bersamamu, aku menemukan cerita yang lain.

Bukan cerita hujan sepertimu, kali ini cerita yang berkebalikan darimu.

Namun, ia menghadirkan sensasi baru yang menyebalkan.

Aku menyebutnya, penyesalan.

Aku tidak terlalu menikmati hujan, tapi bersamamu adalah perkecualian.

Karena apa? Karena aku menemukanmu datang untukku bersama rintik hujan.

Perlu aku ulangi? Ya, aku menemukanmu datang untukku bersama rintik hujan.

Aku masih menyimpan sisa kepingan ceritanya.

Menyimpan sebuah kenangan yang mungkin terlihat usang dan tak berharga bagimu.

Jutaan pixel warna yang akhirnya bergabung jadi satu.

Hanya satu, namun cukup menggambarkan perasaan kita dulu.

Senyuman itu, tatapan itu, dan kehangatan itu.

Semuanya masih terbingkai rapi dan utuh dalam kesatuan jutaan pixel warna.

Dan beberapa saat yang lalu, tak sengaja aku bertemu denganmu lagi.

Kau mau tahu apa yang lebih menyebalkan dari tak sengaja bertemu denganmu lagi?

Aku menemukan bahwa kau datang bersama rintik hujan.

Entah dari Tuhan atau dari hatiku, kau datang bersama rintik hujan.

Aku berdoa pada Tuhan, ini adalah mimpi.

Namun, aku salah.

Pertemuan kita nyata dan kau pun juga nyata.

Senyata rintik hujan yang menerpa tubuhku.

I don’t want waste my time on you, but I do.

Terkadang, aku masih sedikit menolehkan pandanganku padamu ketika ada seseorang yang berusaha menggapaiku.

“Ah, dia tidak sepertimu.”

Hal ini membuatku lelah dan muak.

Bagaimana aku masih bisa melihatmu padahal kau sudah berada dalam buku yang berbeda dariku?

Dan yang lebih melelahkan adalah sahabat-sahabatku yang selalu mengatakan bahwa cerita yang aku jalani akan terasa lebih lengkap jika kau kembali datang dan menulis lanjutan kisahnya bersamaku.

Sebenarnya, aku yang menginginkanmu bersamaku atau sahabat-sahabatku yang menyukaimu?

Sebentar lagi, kau akan pergi dan aku akan tetap disini.

Kau akan berjalan menuju dunia yang lebih nyata daripada duniaku.

Perlahan tapi pasti, kita akan mulai belajar melupakan diri kita masing-masing.

Kau yang akan berkelana dalam dunia nyata yang lebih nyata.

Aku yang sementara waktu ini akan menjelajah dalam dunia yang pernah kita diami bersama.

Tapi aku rasa, kata melupakan akan terdengar menyakitkan.

Mungkin akan lebih tepat jika aku mengatakan, mari kita tetap berjalan ke depan tanpa meninggalkan kenangan indah yang pernah dibingkaikan Tuhan untuk kita.

Kau adalah pelajaran yang pernah Tuhan berikan untukku.

Pelajaran pertama mengenai bagaimana menjaga hati hanya untukmu seorang, bukan untuk yang lain.

Dan untuk pelajaran indah itu, aku berterima kasih padamu =]





NB:
Salah satu sahabatku pernah berkata,

“Let past stay at the past, but what if the past come to present or maybe future? What will you do?”

Rabu, 20 Februari 2013

Kamu, Orang Tua dan Panti Jompo

I’m back!




Tulisan ini terinsipirasi dari tayangan Miss Indonesia 2013 sewaktu mereka berkunjung ke panti jompo.

Saya mungkin masih berumur 16 tahun, mungkin buat kalian saya masih terlalu naif dan hijau untuk membicarakan masalah panti jompo. Tapi buat saya, dengan kenaifan saya ini, saya merasa lebih mudah mengekspresikan sesuatu yang saat kita dewasa nanti akan susah kita katakan.

So reader, ada yang tahu apa arti kata ‘panti jompo’? secara harafiah panti jompo adalah tempat untuk mengurus dan merawat orang jompo/orang tua.

Mengurus dan merawat?

Bukankah itu tugas kita sebagai anak? Bukankah saat orang tua memasuki masa senja adalah saat bagi kita setidaknya untuk membalas apa yang telah orang tua berikan terhadap kita?

Buat saya, panti jompo itu seperti simbol tidak langsung tentang “anak yang sudah terlampau sibuk untuk sekedar mengurus dan merawat orang tuanya hingga menitipkan kepengurusan orang tua terhadap orang lain.”

Apa susahnya mengurus dan merawat orang tua yang sudah membawa kita ke dunia ini? Apakah mengurus dan merawat orang tua yang membesarkan kita akan menghabiskan hari-hari kita? Without them, we are nothing. Tanpa adanya keinginan kuat dari mereka untuk membawa kita ke dunia ini, kita adalah fana.

Saya sendiri kadang bingung, mengapa harus ada panti jompo? mengapa harus ada sekumpulan orang yang punya jutaan alasan untuk menitipkan orang tua mereka di panti jompo? Dan yang lebih mengenaskan adalah kebanyakan penghuni panti jompo adalah kaum wanita. Para ibu. Pahlawan yang membawa kita kemanapun selama 9 bulan 10 hari.
Saya tidak tahu, siapa sebenarnya yang salah dalam sistem ini. Anak yang tidak tahu cara untuk membalas budi atau orang tua yang lelah dengan anaknya sehingga lebih memilih berada di panti jompo bersama teman seperjuangan daripada berada di rumah, tempat dimana mereka seharusnya berada.

Tapi, yang saya tahu  adalah bahwa kodrat kita sebagai anak tidak lain dan tidak bukan berbakti kepada orang tua kita. Dan salah satu wujud bakti kita adalah mengurus dan merawat orang tua di masa senja mereka, bukannya sekedar memberi uang, uang dan uang kepada orang tua kita tanpa memberi perhatian sedikitpun. Uang memang bisa memberi kebahagiaan, tapi kebahagiaan sejati adalah berada di dalam sebuah lingkaran hangat yang bernama keluarga. Lagipula, uang bisa habis tapi kasih sayang akan terus ada selama jantung berdetak.

Beberapa jam yang lalu, saya baru saja membaca cerpen. Judulnya, “Going Home” dan Pulanglah Nak! Ibu Merindukanmu.”

Keduanya memiliki benang merah yang sama. Iya, keduanya membicarakan tentang orang tua, khususnya ibu. Bagaimana rasanya kehilangan ibu, bagaimana rasanya bersikap acuh terhadap ibu, bagaimana rasanya kasih sayang ibu dan rasa-rasa yang lainnya benar-benar tergambar jelas dengan bahasa yang sederhana.

Di ‘Going Home’, ada kutipan yang benar-benar menohok buat saya.

Kau tidak akan pernah tahu persis, bagaimana rasanya ketika seseorang berkata, “Ibumu, dia meninggal”. Kalimat itu terdengar seperti sebuah bola besar, yang mencoba masuk ke telingamu, tapi terlalu besar dan perlahan-lahan menghancurkan gendang telingamu untuk memaksa masuk ke dalam, lalu menghancurkan otakmu.

Dan saat saya membaca ‘Pulanglah Nak, Ibu Merindukanmu’ saya menemukan satu kutipan.

Anakku, jika suatu saat, ketika Ibu belum meninggalkan dunia ini, maukah kau pulang sekali saja? Temui ibu. Ibu ingin memelukmu, mencium keningmu. Nak, walaupun ibu sudah tidak ada didunia ini, kau akan tetap menjadi anakku. Bagaimanapun dirimu, kau anakku. Darah dagingku. Selamanya.

Lupakan tentang castnya. Ini bukan tentang cast atau setting latar waktu dan latar tempat. Ini adalah penggambaran sebuah kehilangan.

Bayangkan jika berada di satu situasi dimana kita sedang bekerja. Tiba-tiba ada sebuah telfon dan itu ternyata dari panti jompo tempat dimana kita menitipkan orang tua kita. Dalam percakapan singkat itu, sang penelfon mengatakan “Ibumu, dia telah tiada.”

Bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang telah melewatkan detik terakhir dari hidup orang tuanya tanpa berada di samping mereka? Siapa yang kejam? Kita atau orang tua?

Saya tidak akan menyalahkan mereka yang mendirikan panti wreda atau panti jompo. Niat mereka baik, membantu sekumpulan manusia yang memiliki sejuta alasan untuk menitipkan orang tua mereka. Tidak ada yang salah dengan niatan baik.

Buat saya pribadi, saya berharap bahwa saya di masa depan tidak akan melakukan hal konyol dengan menitipkan orang tua saya ke panti jompo atau panti wreda. Saya hanya ingin membalas apa yang ayah dan ibu berikan pada saya dengan mengurus dan merawat mereka di masa senja mereka. Memberikan perhatian yang dulu mereka berikan kepada saya. Menemani orang tua saya sampai mereka menutup mata.

Kalian boleh bilang saya konyol dengan kata-kata saya di atas, tapi buat saya ini adalah prinsip. Hal mendasar yang membuat saya tetap membuka mata bahwa ayah dan ibu saya adalah pahlawan saya. Manusia pilihan yang Tuhan berikan untuk saya, lebih tepatnya Tuhan anugerahkan untuk saya. Karena saya mempunyai satu feeling bahwa dengan kita mengirim orang tua kita ke panti wreda atau panti jompo, sama saja kita memberikan rumah yang kita dapat dengan susah payah kepada orang yang tidak kita kenal.

“Ayah dan Ibumu adalah harta karun terbaik yang Tuhan berikan kepada seorang anak. Semakin kita mencintai mereka, semakin bernilai pula kita di mata Tuhan. =]”



NB:

Rabu, 16 Januari 2013

Mimpi: Tidak Selalu Terwujud, namun Patut Diperjuangkan


Saya kembali!

Sebenernya sih saya udah nulis di bulan Januari ini, tapi berhubung banyak kritikan yang masuk ke saya, saya jadi semangat buat nulis lagi. Karena kritikan dan pujian harus seimbang. Lagipula dunia tulis-menulis itu seperti kita yang sedang naik roller coaster. Ada saat tulisan kita bagus, ada saat tulisan kita biasa aja dan ada saat tulisan kita kurang bagus. Well, setidaknya saya menikmati menulis.

Oke, posting saya kali ini agak formal. Udah kelihatan juga kan dari penggunaan kata ganti “saya” padahal biasanya dominan “aku”. Daripada saya banyak omong, enjoy it please.


Mimpi.

Sebenernya, mimpi itu apa? Apa gunanya punya mimpi? Apa mimpi itu sekedar bunga tidur atau apa?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, mimpi adalah sesuatu yang terlihat atau dialami di tidur; angan-angan. Sedangkan menurut The New Oxford American Dictionary, Dream is a series of thoughts, images, and sensations occuring in a person’s mind during sleep; a state of mind in which someone is or seems to be unaware of their immediate surroundings; a cherished aspiration, ambition, or ideal; an unrealistic or self-deluding fantasy.

Sependek apapun definisi mimpi menurut KBBI dan sepanjang apapun definisi dream menurut The New Oxford American Dictionary, buat saya mimpi adalah sesuatu yang ingin saya raih dan saya wujudkan. Iya, sesimpel itu.

Mimpi itu bukan matematika. Mimpi itu tidak bisa dihitung, dikalkulasi, dikali, dibagi, dikurangi atau di rangkaikan dengan kalimat matematika yang lain. Tapi satu hal, mimpi selalu bisa ditambah. Lagipula, mimpi itu tidak seperti matematika yang mengenal limit. Mimpi itu tidak terbatas. Unlimited. Setiap orang entah bagaimanapun statusnya di masyarakat, tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin pasti mereka mempunyai mimpi.

Buat saya, tidak ada mimpi yang terlihat sederhana, kecil, remeh, biasa saja dan lain-lain. Bukan, bukan karena saya tidak menghargai mimpi yang kecil atau yang bagaimana. Tapi buat saya, sekecil, sesederhana, seremeh, sebiasa saja mimpi seseorang, mimpi yang tulus dan dari dalam hati akan selalu membawa impact yang besar terhadap orang tersebut. Belum lagi jika mimpinya menyangkut orang banyak. Jadi buat saya, semua mimpi itu besar dan patut dikejar.

Kita boleh menikmati mimpi kita, kita boleh tenggelam dalam mimpi kita, kita boleh terbuai akan mimpi kita tapi jangan sampai mimpi itu hanya sekedar menjadi sesuatu yang terhenti di bibir. Buat apa mimpi tanpa sebuah usaha keras untuk mewujudkannya? Ibarat sebuah rumah, kita hanya bisa membangun pondasinya saja tanpa bisa membuat rumah itu menjadi utuh dan terlihat indah. Iya, mimpi yang diucapkan tanpa diusahakan adalah omong kosong belaka. Tong kosong berbunyi nyaring.

Tapi, bermimpi tidak selalu menyenangkan dan menghasilkan sesuai yang kita inginkan. Seperti hukum alam yang berlaku, selalu ada Yin bersama Yang. Selalu ada hitam bersama putih. Selalu ada keburukan bersama kebaikan. Dan selalu ada kegagalan bersama keberhasilan. Satu mimpi terwujud, maka akan ada satu mimpi yang layu.

Banyak orang yang memilih mundur dan menghapus mimpinya lebih dahulu daripada berusaha memperjuangkannya. Tidak semua mimpi bisa terwujud, itu pasti. Tapi apa karena alasan yang sudah merupakan hukum alam itu membuat kita kalah sebelum berperang? Mati sebelum tertancap pedang di jantung? Hukum alam selamanya akan menjadi hukum alam kecuali Tuhan yang mengubahnya. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha membuat mimpi kita ada dan berwujud.

Saya punya banyak mimpi. Satu waktu pernah sebagian dari mimpi ini saya tulis di bio Twitter. Duta besar, blogger terkenal dan penulis dengan ratusan karya yang berguna. Saya tidak punya niatan pamer, bergaya atau apapun. Saya cuma mau membuat diri saya terus mengingat apa yang saya impikan dan saya harapkan. Membuat mata saya tetap terbuka bahwa mimpi ini ada dan harus saya perjuangkan seterjal apapun jalannya. Mungkin saja mimpi saya tidak terwujud, tapi saya tidak akan menyesal karena saya pernah mencoba memperjuangkannya. Toh, garis kehidupan ini sudah ditentukan oleh Tuhan bukan? Baik buruknya jalan kita sudah diperhitungkan dengan cermat oleh Tuhan.

Saya juga punya satu mimpi yang kadang saya anggap nonsense. Tapi Tuhan saja tidak mengenal kata nonsense bagaimana manusia yang ciptaan-Nya justru begitu percaya pada nonsense?

Mimpi saya adalah saya mau bersekolah di sekolah kedinasan. Karena saya sendiri suka dengan hal-hal berbau kebumian maka pilihan saya jatuh ke Akademi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau AMKG di Jakarta. Saya tahu akademi ini dari tante saya karena tante saya lulusan AMKG. Saya sendiri masih bingung kenapa AMKG? Kenapa bukan IPDN yang lebih klik ke saya apalagi dengan sikap semacam saya ini?

Saya sadar, bahwa saya punya hati dan hati saya memilih bahwa saya setidaknya harus mencoba AMKG. Saya tidak mau bahwa mimpi saya untuk masuk ke AMKG cuma seperti kabut tipis. Datang, membawa sensasi dingin lalu hilang begitu saja. Saya tidak mau mimpi saya mati karena saya goyah dengan diri saya sendiri.

Tapi ada kalanya mimpi saya harus layu. Dulu, saya sempat berniat lanjut bersekolah di Jogja, tepatnya SMA 8 Jogja atau Delayota. Tapi yang namanya kuasa Tuhan manusia bisa apa? Tepat 2 hari sebelum UN, saya masuk rumah sakit karena demam berdarah. It’s suck. Ketika saya sudah membangun mimpi saya, ternyata apa yang saya impikan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Sekarang, saat saya menulis tulisan ini, saya samasekali tidak pernah menyesal berada di SMANSA KLATEN. Memang disinilah tempat saya. Menjalani 3 tahun masa pelajar putih abu-abu di tempat yang mempertemukan saya dengan kawan-kawan seperjuangan yang begitu luar biasa. Dan untuk hal ini, saya selalu berterima kasih pada Tuhan.

Pada akhirnya, saya banyak belajar bahwa hidup ini perlu keseimbangan. Harus ada kegagalan yang datang sebelum keberhasilan yang bertubi-tubi. Lagipula, bagi saya mimpi itu seperti tanaman. Harus dipupuk dan terkadang dirapikan, karena mimpi yang liar dan tidak terkendali juga tidak baik bagi mereka yang memimpikannya.

One last qoute:

“Salah adalah ketika kita membiarkan mimpi kita menggantung tanpa kita berusaha meraihnya.”

Sabtu, 05 Januari 2013

Lihat Pundakmu, dan Temukan Tanggung Jawabmu


Hallo pals! HAPPY NEW YEAR all! Selamat menikmati tahun 2013 yang masih penuh teka-teki.
Sebelumnya, aku mau bilang makasih buat Prata XVIII a.k.a anak-anak Kapal Selam yang sudah memperbolehkan aku sama Nanda lihat latihan Caraka XIX yang bakalan ikut RAMAKA besok Minggu. Karena tulisan ini ada setelah aku lihat mereka latihan. I owe you guys. Oh iya, buat lomba besok Minggu, DO YOUR BEST AND GOD THE REST #WeAreSmansa

Cao!
Tanggung jawab. Apa sih hal yang melintasi kepala kalian begitu mendengar kata tanggung jawab? Sesuatu yang kita emban? Semacam itu mungkin ya. Sesuatu yang membuat kita selalu sadar kalau kita di dunia ini bukan sekedar santai aja.

Buatku, tanggung jawab itu seolah harapan yang menyatu. Harapan yang membuat kita berusaha keras untuk mewujudkannya. Harapan yang akan mengabur dengan indah ketika telah terselesaikan. Sesuatu yang sepertinya berat, berat banget tapi ringan kalau kita melakoni dengan hati yang ikhlas.

Kalian ingat kan dengan perkataan orang yang bilang di pundak kita ini tersampir tanggung jawab yang besar. Well, aku setuju dengan pandangan seperti itu. Sekarang, coba kalian lihat pundak kalian. Di pundak yang tempatnya ga seberapa dari besar badan kita justru dia yang membawa beban berat. Kenapa engga kepala? Kenapa engga tangan atau bagian tubuh yang lain? Mungkin Tuhan memilih pundak karena disana terdapat dua malaikat yang akan selalu membuat kita ingat apa tanggung jawab kita.

Di pundak kita ini, sekarang ada tanggung jawab sebagai anak dan tanggung jawab sebagai pelajar. Sedangkan ketika kita udah dewasa, tanggung jawab kita akan bertambah seiring berlalunya waktu. Tanggung jawab sebagai kakak, tanggung jawab sebagai ibu, tanggung jawab sebagai ayah, tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Sedikit sih kelihatannya tapi justru yang sedikit ini yang membuat kita harus tetap berpijak di bumi.

Tapi diantara itu semua, hal terpenting adalah tanggung jawab kita sebagai manusia. Iya, manusia. Tanggung jawab kita kepada Tuhan yang menciptakan kita, yang memberikan kita nyawa dan yang membuat kita ada di dunia ini. Gimana caranya bertanggung jawab kepada Tuhan? Menurutku ada banyak cara tapi yang paling simpel adalah berusaha sebaik-baiknya kita dalam melakukan segala hal entah yang kecil ataupun yang besar dan ga lupa disertai rasa ikhlas.

Kadang, aku ngerasa tanggung jawab itu berat. Bohong banget kalau aku bilang tanggung jawab itu enteng. Mungkin iya akan terasa enteng kalau kita sungguh-sungguh dalam melakukannya tapi itu juga bukan berarti meremehkannya. Besar kecilnya tanggung jawab ga akan berpengaruh toh pada akhirnya hal itu ada sesuatu yang kita emban untuk kita laksanakan hingga tuntas.

Salah satu contoh dari tanggung jawab menurutku adalah melanjutkan kuliah. Iya, melanjutkan kuliah. Salah satu pertanggungjawaban kita ke orang tua sebagai anak. Bohong lagi deh kalau aku bilang aku belum memikirkan kuliah padahal masih kelas 11 gini. Setidaknya, seorang anak akan berharap apa yang ia pilih akan sama dengan yang orang tua inginkan. Pada kenyataannya, itu bukan hal yang gampang. Syukur-syukur kalau sama, kalau anaknya mau A orang tua B gimana?

Aku juga sadar, dari awal aku adalah seorang pemberontak. Keluarga dari ayah itu pecinta alam sejati dan aku ga ngikutin jejaknya sama sekali. Keluarga dari ibu itu punya trah hukum yang kuat dan aku dengan pedenya bilang aku bakalan masuk hukum sebagai opsi terakhir kalau aku kuliah. Semacam ini bisa dianggap pemberontak kan?

Aku mungkin pemberontak, tapi juga aku gamau membuat tanggung jawabku sebagai anak mengabur begitu aja Cuma karena ga ngikutin jejak keluarga ayah dan ibuku. Akhir-akhir ini orang tua lagi hobi nyuruh aku besok ambil sekolah dengan ikatan dinas. Karena ikatan dinas bakalan setidaknya menjamin ketika kita lulus kuliah bahwa kita punya pekerjaan. Bukan, bukannya aku meremehkan kuliah tanpa ikatan dinas tapi di dunia yang emang udah ganas, panas, dan penuh kelicikan ini berusaha survive bukan hal yang salah kan?

Tapi aku sendiri juga gamau gegabah dengan langsung bilang iya. Emang jaminan, tapi ada juga tuntutan IP yang tiap semesternya segini, penempatan kerja di luar Jawa dan segala pertimbangan yang lain. Apalagi aku masih minat sama kuliah di universitas yang aku pengin. Lagipula masih ada waktu 1 tahun lagi untuk berpikir.

Ada satu advice dari kakak sepupu yang masih aku inget sampai sekarang. Kata dia “Ini kuliah dek, ini tentang gimana jalan kehidupanmu di masa depan. Bukan lagi yang mengkotak-kotakkan anak-anak dalam jurusan lagi. Kuliah itu kawah candradimuka buat kita yang sebentar lagi jadi orang dewasa seutuhnya. Jangan main-main, karena kalau kamu main-main, sama aja kamu bermain dengan kehidupanmu di masa depan.”

Dan selama waktu satu tahun ke depan, aku bakalan berusaha untuk nilai yang lebih baik dan ga lupa memantapkan kemana kaki ini bakalan berjalan. Setidaknya nilai yang baik adalah salah satu tanggung jawab kecil sebagai anak yang selalu bisa dicicil ke orang tua :]

One last quote:
“berat atau ringan, kecil atau besarnya tanggung jawab terngantung dengan siapa ia berkutat. Semakin ikhlas tanggung jawab dijalani, semakin terang garis finish akhir dari tanggung jawab itu.”