Minggu, 24 Februari 2013

Cerita Hujan

Seiring dengan hujan yang terus-menerus datang di bulan Januari dan intensitasnya semakin meningkat pada bulan Februari, membuatku kembali mengingatmu.

Kau datang bersama hujan, dan kepergianmu pun diiringi oleh hujan.

Jika kedatanganmu diiringi rintik hujan dalam suasana sunyi nan syahdu, maka kepergianmu diiringi rintik hujan kesedihan.

Rintik hujan yang datang dari mataku, begitulah aku biasa menyebutnya.

Kau adalah yang pertama namun bukan yang utama.

You’re the first but not the only one.

Karena setelah bersamamu, aku menemukan cerita yang lain.

Bukan cerita hujan sepertimu, kali ini cerita yang berkebalikan darimu.

Namun, ia menghadirkan sensasi baru yang menyebalkan.

Aku menyebutnya, penyesalan.

Aku tidak terlalu menikmati hujan, tapi bersamamu adalah perkecualian.

Karena apa? Karena aku menemukanmu datang untukku bersama rintik hujan.

Perlu aku ulangi? Ya, aku menemukanmu datang untukku bersama rintik hujan.

Aku masih menyimpan sisa kepingan ceritanya.

Menyimpan sebuah kenangan yang mungkin terlihat usang dan tak berharga bagimu.

Jutaan pixel warna yang akhirnya bergabung jadi satu.

Hanya satu, namun cukup menggambarkan perasaan kita dulu.

Senyuman itu, tatapan itu, dan kehangatan itu.

Semuanya masih terbingkai rapi dan utuh dalam kesatuan jutaan pixel warna.

Dan beberapa saat yang lalu, tak sengaja aku bertemu denganmu lagi.

Kau mau tahu apa yang lebih menyebalkan dari tak sengaja bertemu denganmu lagi?

Aku menemukan bahwa kau datang bersama rintik hujan.

Entah dari Tuhan atau dari hatiku, kau datang bersama rintik hujan.

Aku berdoa pada Tuhan, ini adalah mimpi.

Namun, aku salah.

Pertemuan kita nyata dan kau pun juga nyata.

Senyata rintik hujan yang menerpa tubuhku.

I don’t want waste my time on you, but I do.

Terkadang, aku masih sedikit menolehkan pandanganku padamu ketika ada seseorang yang berusaha menggapaiku.

“Ah, dia tidak sepertimu.”

Hal ini membuatku lelah dan muak.

Bagaimana aku masih bisa melihatmu padahal kau sudah berada dalam buku yang berbeda dariku?

Dan yang lebih melelahkan adalah sahabat-sahabatku yang selalu mengatakan bahwa cerita yang aku jalani akan terasa lebih lengkap jika kau kembali datang dan menulis lanjutan kisahnya bersamaku.

Sebenarnya, aku yang menginginkanmu bersamaku atau sahabat-sahabatku yang menyukaimu?

Sebentar lagi, kau akan pergi dan aku akan tetap disini.

Kau akan berjalan menuju dunia yang lebih nyata daripada duniaku.

Perlahan tapi pasti, kita akan mulai belajar melupakan diri kita masing-masing.

Kau yang akan berkelana dalam dunia nyata yang lebih nyata.

Aku yang sementara waktu ini akan menjelajah dalam dunia yang pernah kita diami bersama.

Tapi aku rasa, kata melupakan akan terdengar menyakitkan.

Mungkin akan lebih tepat jika aku mengatakan, mari kita tetap berjalan ke depan tanpa meninggalkan kenangan indah yang pernah dibingkaikan Tuhan untuk kita.

Kau adalah pelajaran yang pernah Tuhan berikan untukku.

Pelajaran pertama mengenai bagaimana menjaga hati hanya untukmu seorang, bukan untuk yang lain.

Dan untuk pelajaran indah itu, aku berterima kasih padamu =]





NB:
Salah satu sahabatku pernah berkata,

“Let past stay at the past, but what if the past come to present or maybe future? What will you do?”

Rabu, 20 Februari 2013

Kamu, Orang Tua dan Panti Jompo

I’m back!




Tulisan ini terinsipirasi dari tayangan Miss Indonesia 2013 sewaktu mereka berkunjung ke panti jompo.

Saya mungkin masih berumur 16 tahun, mungkin buat kalian saya masih terlalu naif dan hijau untuk membicarakan masalah panti jompo. Tapi buat saya, dengan kenaifan saya ini, saya merasa lebih mudah mengekspresikan sesuatu yang saat kita dewasa nanti akan susah kita katakan.

So reader, ada yang tahu apa arti kata ‘panti jompo’? secara harafiah panti jompo adalah tempat untuk mengurus dan merawat orang jompo/orang tua.

Mengurus dan merawat?

Bukankah itu tugas kita sebagai anak? Bukankah saat orang tua memasuki masa senja adalah saat bagi kita setidaknya untuk membalas apa yang telah orang tua berikan terhadap kita?

Buat saya, panti jompo itu seperti simbol tidak langsung tentang “anak yang sudah terlampau sibuk untuk sekedar mengurus dan merawat orang tuanya hingga menitipkan kepengurusan orang tua terhadap orang lain.”

Apa susahnya mengurus dan merawat orang tua yang sudah membawa kita ke dunia ini? Apakah mengurus dan merawat orang tua yang membesarkan kita akan menghabiskan hari-hari kita? Without them, we are nothing. Tanpa adanya keinginan kuat dari mereka untuk membawa kita ke dunia ini, kita adalah fana.

Saya sendiri kadang bingung, mengapa harus ada panti jompo? mengapa harus ada sekumpulan orang yang punya jutaan alasan untuk menitipkan orang tua mereka di panti jompo? Dan yang lebih mengenaskan adalah kebanyakan penghuni panti jompo adalah kaum wanita. Para ibu. Pahlawan yang membawa kita kemanapun selama 9 bulan 10 hari.
Saya tidak tahu, siapa sebenarnya yang salah dalam sistem ini. Anak yang tidak tahu cara untuk membalas budi atau orang tua yang lelah dengan anaknya sehingga lebih memilih berada di panti jompo bersama teman seperjuangan daripada berada di rumah, tempat dimana mereka seharusnya berada.

Tapi, yang saya tahu  adalah bahwa kodrat kita sebagai anak tidak lain dan tidak bukan berbakti kepada orang tua kita. Dan salah satu wujud bakti kita adalah mengurus dan merawat orang tua di masa senja mereka, bukannya sekedar memberi uang, uang dan uang kepada orang tua kita tanpa memberi perhatian sedikitpun. Uang memang bisa memberi kebahagiaan, tapi kebahagiaan sejati adalah berada di dalam sebuah lingkaran hangat yang bernama keluarga. Lagipula, uang bisa habis tapi kasih sayang akan terus ada selama jantung berdetak.

Beberapa jam yang lalu, saya baru saja membaca cerpen. Judulnya, “Going Home” dan Pulanglah Nak! Ibu Merindukanmu.”

Keduanya memiliki benang merah yang sama. Iya, keduanya membicarakan tentang orang tua, khususnya ibu. Bagaimana rasanya kehilangan ibu, bagaimana rasanya bersikap acuh terhadap ibu, bagaimana rasanya kasih sayang ibu dan rasa-rasa yang lainnya benar-benar tergambar jelas dengan bahasa yang sederhana.

Di ‘Going Home’, ada kutipan yang benar-benar menohok buat saya.

Kau tidak akan pernah tahu persis, bagaimana rasanya ketika seseorang berkata, “Ibumu, dia meninggal”. Kalimat itu terdengar seperti sebuah bola besar, yang mencoba masuk ke telingamu, tapi terlalu besar dan perlahan-lahan menghancurkan gendang telingamu untuk memaksa masuk ke dalam, lalu menghancurkan otakmu.

Dan saat saya membaca ‘Pulanglah Nak, Ibu Merindukanmu’ saya menemukan satu kutipan.

Anakku, jika suatu saat, ketika Ibu belum meninggalkan dunia ini, maukah kau pulang sekali saja? Temui ibu. Ibu ingin memelukmu, mencium keningmu. Nak, walaupun ibu sudah tidak ada didunia ini, kau akan tetap menjadi anakku. Bagaimanapun dirimu, kau anakku. Darah dagingku. Selamanya.

Lupakan tentang castnya. Ini bukan tentang cast atau setting latar waktu dan latar tempat. Ini adalah penggambaran sebuah kehilangan.

Bayangkan jika berada di satu situasi dimana kita sedang bekerja. Tiba-tiba ada sebuah telfon dan itu ternyata dari panti jompo tempat dimana kita menitipkan orang tua kita. Dalam percakapan singkat itu, sang penelfon mengatakan “Ibumu, dia telah tiada.”

Bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang telah melewatkan detik terakhir dari hidup orang tuanya tanpa berada di samping mereka? Siapa yang kejam? Kita atau orang tua?

Saya tidak akan menyalahkan mereka yang mendirikan panti wreda atau panti jompo. Niat mereka baik, membantu sekumpulan manusia yang memiliki sejuta alasan untuk menitipkan orang tua mereka. Tidak ada yang salah dengan niatan baik.

Buat saya pribadi, saya berharap bahwa saya di masa depan tidak akan melakukan hal konyol dengan menitipkan orang tua saya ke panti jompo atau panti wreda. Saya hanya ingin membalas apa yang ayah dan ibu berikan pada saya dengan mengurus dan merawat mereka di masa senja mereka. Memberikan perhatian yang dulu mereka berikan kepada saya. Menemani orang tua saya sampai mereka menutup mata.

Kalian boleh bilang saya konyol dengan kata-kata saya di atas, tapi buat saya ini adalah prinsip. Hal mendasar yang membuat saya tetap membuka mata bahwa ayah dan ibu saya adalah pahlawan saya. Manusia pilihan yang Tuhan berikan untuk saya, lebih tepatnya Tuhan anugerahkan untuk saya. Karena saya mempunyai satu feeling bahwa dengan kita mengirim orang tua kita ke panti wreda atau panti jompo, sama saja kita memberikan rumah yang kita dapat dengan susah payah kepada orang yang tidak kita kenal.

“Ayah dan Ibumu adalah harta karun terbaik yang Tuhan berikan kepada seorang anak. Semakin kita mencintai mereka, semakin bernilai pula kita di mata Tuhan. =]”



NB: