Rabu, 16 Januari 2013

Mimpi: Tidak Selalu Terwujud, namun Patut Diperjuangkan


Saya kembali!

Sebenernya sih saya udah nulis di bulan Januari ini, tapi berhubung banyak kritikan yang masuk ke saya, saya jadi semangat buat nulis lagi. Karena kritikan dan pujian harus seimbang. Lagipula dunia tulis-menulis itu seperti kita yang sedang naik roller coaster. Ada saat tulisan kita bagus, ada saat tulisan kita biasa aja dan ada saat tulisan kita kurang bagus. Well, setidaknya saya menikmati menulis.

Oke, posting saya kali ini agak formal. Udah kelihatan juga kan dari penggunaan kata ganti “saya” padahal biasanya dominan “aku”. Daripada saya banyak omong, enjoy it please.


Mimpi.

Sebenernya, mimpi itu apa? Apa gunanya punya mimpi? Apa mimpi itu sekedar bunga tidur atau apa?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, mimpi adalah sesuatu yang terlihat atau dialami di tidur; angan-angan. Sedangkan menurut The New Oxford American Dictionary, Dream is a series of thoughts, images, and sensations occuring in a person’s mind during sleep; a state of mind in which someone is or seems to be unaware of their immediate surroundings; a cherished aspiration, ambition, or ideal; an unrealistic or self-deluding fantasy.

Sependek apapun definisi mimpi menurut KBBI dan sepanjang apapun definisi dream menurut The New Oxford American Dictionary, buat saya mimpi adalah sesuatu yang ingin saya raih dan saya wujudkan. Iya, sesimpel itu.

Mimpi itu bukan matematika. Mimpi itu tidak bisa dihitung, dikalkulasi, dikali, dibagi, dikurangi atau di rangkaikan dengan kalimat matematika yang lain. Tapi satu hal, mimpi selalu bisa ditambah. Lagipula, mimpi itu tidak seperti matematika yang mengenal limit. Mimpi itu tidak terbatas. Unlimited. Setiap orang entah bagaimanapun statusnya di masyarakat, tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin pasti mereka mempunyai mimpi.

Buat saya, tidak ada mimpi yang terlihat sederhana, kecil, remeh, biasa saja dan lain-lain. Bukan, bukan karena saya tidak menghargai mimpi yang kecil atau yang bagaimana. Tapi buat saya, sekecil, sesederhana, seremeh, sebiasa saja mimpi seseorang, mimpi yang tulus dan dari dalam hati akan selalu membawa impact yang besar terhadap orang tersebut. Belum lagi jika mimpinya menyangkut orang banyak. Jadi buat saya, semua mimpi itu besar dan patut dikejar.

Kita boleh menikmati mimpi kita, kita boleh tenggelam dalam mimpi kita, kita boleh terbuai akan mimpi kita tapi jangan sampai mimpi itu hanya sekedar menjadi sesuatu yang terhenti di bibir. Buat apa mimpi tanpa sebuah usaha keras untuk mewujudkannya? Ibarat sebuah rumah, kita hanya bisa membangun pondasinya saja tanpa bisa membuat rumah itu menjadi utuh dan terlihat indah. Iya, mimpi yang diucapkan tanpa diusahakan adalah omong kosong belaka. Tong kosong berbunyi nyaring.

Tapi, bermimpi tidak selalu menyenangkan dan menghasilkan sesuai yang kita inginkan. Seperti hukum alam yang berlaku, selalu ada Yin bersama Yang. Selalu ada hitam bersama putih. Selalu ada keburukan bersama kebaikan. Dan selalu ada kegagalan bersama keberhasilan. Satu mimpi terwujud, maka akan ada satu mimpi yang layu.

Banyak orang yang memilih mundur dan menghapus mimpinya lebih dahulu daripada berusaha memperjuangkannya. Tidak semua mimpi bisa terwujud, itu pasti. Tapi apa karena alasan yang sudah merupakan hukum alam itu membuat kita kalah sebelum berperang? Mati sebelum tertancap pedang di jantung? Hukum alam selamanya akan menjadi hukum alam kecuali Tuhan yang mengubahnya. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha membuat mimpi kita ada dan berwujud.

Saya punya banyak mimpi. Satu waktu pernah sebagian dari mimpi ini saya tulis di bio Twitter. Duta besar, blogger terkenal dan penulis dengan ratusan karya yang berguna. Saya tidak punya niatan pamer, bergaya atau apapun. Saya cuma mau membuat diri saya terus mengingat apa yang saya impikan dan saya harapkan. Membuat mata saya tetap terbuka bahwa mimpi ini ada dan harus saya perjuangkan seterjal apapun jalannya. Mungkin saja mimpi saya tidak terwujud, tapi saya tidak akan menyesal karena saya pernah mencoba memperjuangkannya. Toh, garis kehidupan ini sudah ditentukan oleh Tuhan bukan? Baik buruknya jalan kita sudah diperhitungkan dengan cermat oleh Tuhan.

Saya juga punya satu mimpi yang kadang saya anggap nonsense. Tapi Tuhan saja tidak mengenal kata nonsense bagaimana manusia yang ciptaan-Nya justru begitu percaya pada nonsense?

Mimpi saya adalah saya mau bersekolah di sekolah kedinasan. Karena saya sendiri suka dengan hal-hal berbau kebumian maka pilihan saya jatuh ke Akademi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau AMKG di Jakarta. Saya tahu akademi ini dari tante saya karena tante saya lulusan AMKG. Saya sendiri masih bingung kenapa AMKG? Kenapa bukan IPDN yang lebih klik ke saya apalagi dengan sikap semacam saya ini?

Saya sadar, bahwa saya punya hati dan hati saya memilih bahwa saya setidaknya harus mencoba AMKG. Saya tidak mau bahwa mimpi saya untuk masuk ke AMKG cuma seperti kabut tipis. Datang, membawa sensasi dingin lalu hilang begitu saja. Saya tidak mau mimpi saya mati karena saya goyah dengan diri saya sendiri.

Tapi ada kalanya mimpi saya harus layu. Dulu, saya sempat berniat lanjut bersekolah di Jogja, tepatnya SMA 8 Jogja atau Delayota. Tapi yang namanya kuasa Tuhan manusia bisa apa? Tepat 2 hari sebelum UN, saya masuk rumah sakit karena demam berdarah. It’s suck. Ketika saya sudah membangun mimpi saya, ternyata apa yang saya impikan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Sekarang, saat saya menulis tulisan ini, saya samasekali tidak pernah menyesal berada di SMANSA KLATEN. Memang disinilah tempat saya. Menjalani 3 tahun masa pelajar putih abu-abu di tempat yang mempertemukan saya dengan kawan-kawan seperjuangan yang begitu luar biasa. Dan untuk hal ini, saya selalu berterima kasih pada Tuhan.

Pada akhirnya, saya banyak belajar bahwa hidup ini perlu keseimbangan. Harus ada kegagalan yang datang sebelum keberhasilan yang bertubi-tubi. Lagipula, bagi saya mimpi itu seperti tanaman. Harus dipupuk dan terkadang dirapikan, karena mimpi yang liar dan tidak terkendali juga tidak baik bagi mereka yang memimpikannya.

One last qoute:

“Salah adalah ketika kita membiarkan mimpi kita menggantung tanpa kita berusaha meraihnya.”

Sabtu, 05 Januari 2013

Lihat Pundakmu, dan Temukan Tanggung Jawabmu


Hallo pals! HAPPY NEW YEAR all! Selamat menikmati tahun 2013 yang masih penuh teka-teki.
Sebelumnya, aku mau bilang makasih buat Prata XVIII a.k.a anak-anak Kapal Selam yang sudah memperbolehkan aku sama Nanda lihat latihan Caraka XIX yang bakalan ikut RAMAKA besok Minggu. Karena tulisan ini ada setelah aku lihat mereka latihan. I owe you guys. Oh iya, buat lomba besok Minggu, DO YOUR BEST AND GOD THE REST #WeAreSmansa

Cao!
Tanggung jawab. Apa sih hal yang melintasi kepala kalian begitu mendengar kata tanggung jawab? Sesuatu yang kita emban? Semacam itu mungkin ya. Sesuatu yang membuat kita selalu sadar kalau kita di dunia ini bukan sekedar santai aja.

Buatku, tanggung jawab itu seolah harapan yang menyatu. Harapan yang membuat kita berusaha keras untuk mewujudkannya. Harapan yang akan mengabur dengan indah ketika telah terselesaikan. Sesuatu yang sepertinya berat, berat banget tapi ringan kalau kita melakoni dengan hati yang ikhlas.

Kalian ingat kan dengan perkataan orang yang bilang di pundak kita ini tersampir tanggung jawab yang besar. Well, aku setuju dengan pandangan seperti itu. Sekarang, coba kalian lihat pundak kalian. Di pundak yang tempatnya ga seberapa dari besar badan kita justru dia yang membawa beban berat. Kenapa engga kepala? Kenapa engga tangan atau bagian tubuh yang lain? Mungkin Tuhan memilih pundak karena disana terdapat dua malaikat yang akan selalu membuat kita ingat apa tanggung jawab kita.

Di pundak kita ini, sekarang ada tanggung jawab sebagai anak dan tanggung jawab sebagai pelajar. Sedangkan ketika kita udah dewasa, tanggung jawab kita akan bertambah seiring berlalunya waktu. Tanggung jawab sebagai kakak, tanggung jawab sebagai ibu, tanggung jawab sebagai ayah, tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Sedikit sih kelihatannya tapi justru yang sedikit ini yang membuat kita harus tetap berpijak di bumi.

Tapi diantara itu semua, hal terpenting adalah tanggung jawab kita sebagai manusia. Iya, manusia. Tanggung jawab kita kepada Tuhan yang menciptakan kita, yang memberikan kita nyawa dan yang membuat kita ada di dunia ini. Gimana caranya bertanggung jawab kepada Tuhan? Menurutku ada banyak cara tapi yang paling simpel adalah berusaha sebaik-baiknya kita dalam melakukan segala hal entah yang kecil ataupun yang besar dan ga lupa disertai rasa ikhlas.

Kadang, aku ngerasa tanggung jawab itu berat. Bohong banget kalau aku bilang tanggung jawab itu enteng. Mungkin iya akan terasa enteng kalau kita sungguh-sungguh dalam melakukannya tapi itu juga bukan berarti meremehkannya. Besar kecilnya tanggung jawab ga akan berpengaruh toh pada akhirnya hal itu ada sesuatu yang kita emban untuk kita laksanakan hingga tuntas.

Salah satu contoh dari tanggung jawab menurutku adalah melanjutkan kuliah. Iya, melanjutkan kuliah. Salah satu pertanggungjawaban kita ke orang tua sebagai anak. Bohong lagi deh kalau aku bilang aku belum memikirkan kuliah padahal masih kelas 11 gini. Setidaknya, seorang anak akan berharap apa yang ia pilih akan sama dengan yang orang tua inginkan. Pada kenyataannya, itu bukan hal yang gampang. Syukur-syukur kalau sama, kalau anaknya mau A orang tua B gimana?

Aku juga sadar, dari awal aku adalah seorang pemberontak. Keluarga dari ayah itu pecinta alam sejati dan aku ga ngikutin jejaknya sama sekali. Keluarga dari ibu itu punya trah hukum yang kuat dan aku dengan pedenya bilang aku bakalan masuk hukum sebagai opsi terakhir kalau aku kuliah. Semacam ini bisa dianggap pemberontak kan?

Aku mungkin pemberontak, tapi juga aku gamau membuat tanggung jawabku sebagai anak mengabur begitu aja Cuma karena ga ngikutin jejak keluarga ayah dan ibuku. Akhir-akhir ini orang tua lagi hobi nyuruh aku besok ambil sekolah dengan ikatan dinas. Karena ikatan dinas bakalan setidaknya menjamin ketika kita lulus kuliah bahwa kita punya pekerjaan. Bukan, bukannya aku meremehkan kuliah tanpa ikatan dinas tapi di dunia yang emang udah ganas, panas, dan penuh kelicikan ini berusaha survive bukan hal yang salah kan?

Tapi aku sendiri juga gamau gegabah dengan langsung bilang iya. Emang jaminan, tapi ada juga tuntutan IP yang tiap semesternya segini, penempatan kerja di luar Jawa dan segala pertimbangan yang lain. Apalagi aku masih minat sama kuliah di universitas yang aku pengin. Lagipula masih ada waktu 1 tahun lagi untuk berpikir.

Ada satu advice dari kakak sepupu yang masih aku inget sampai sekarang. Kata dia “Ini kuliah dek, ini tentang gimana jalan kehidupanmu di masa depan. Bukan lagi yang mengkotak-kotakkan anak-anak dalam jurusan lagi. Kuliah itu kawah candradimuka buat kita yang sebentar lagi jadi orang dewasa seutuhnya. Jangan main-main, karena kalau kamu main-main, sama aja kamu bermain dengan kehidupanmu di masa depan.”

Dan selama waktu satu tahun ke depan, aku bakalan berusaha untuk nilai yang lebih baik dan ga lupa memantapkan kemana kaki ini bakalan berjalan. Setidaknya nilai yang baik adalah salah satu tanggung jawab kecil sebagai anak yang selalu bisa dicicil ke orang tua :]

One last quote:
“berat atau ringan, kecil atau besarnya tanggung jawab terngantung dengan siapa ia berkutat. Semakin ikhlas tanggung jawab dijalani, semakin terang garis finish akhir dari tanggung jawab itu.”