Rabu, 04 Juli 2012

BELAJAR DARI MANGA – Part 1


Apa sih yang kalian rasain ketika kalian lagi baca manga kayak Detective Conan, Doraemon, Kindaichi, C.M.B, Naruto,dan lain-lain? Pertama pasti terhibur kan, habis itu bakalan timbul keinginan untuk memfavoritkan salah satu atau beberapa tokoh dalam manga tersebut. Pernah ga terlintas sekali aja dari kalian untuk memetik beberapa pelajaran hidup yang ada di dalam manga itu? Kebanyakan pasti engga, kenapa? Karna setelah kalian selesai membaca manga itu maka selesai juga ikatan kalian dengan manga tersebut.

Buatku, selesai membaca manga ga berarti ikatan kita selesai dengan manga tersebut. Mungkin sesekali, ketika kita menjalani hidup ini akan ada dejavu yang mungkin sama dengan manga yang pernah kita baca. Ga percaya? Aku udah membuktikannya kok. Aku masih inget sebuah manga yaitu Doraemon Special yang di salah satu isinya, manga ini membahas tentang nenek.

Doraemon Special yang membahas tentang nenek itu menceritakan Nobita yang lagi nyari alat untuk mencari cincin titanium milik ibunya yang hilang. Setelah dia menemukan cincin itu, bukannya belajar seperti janjinya sama Doraemon dia malah ngeluarin pesawat yang di rusak temennya, topi jerami ibunya yang hilang dan kumpulan komiknya yang di buang sama sang ibu. Tanpa sadar Nobita ngeluarin sebuah boneka daruma. FYI, daruma itu boneka yang kalau dipukul/digelindingin bisa balik ke posisi awal. Daruma itu ngebuat Nobita inget akan sosok neneknya yang meminta Nobita menjadi seperti daruma. Gini nih kata neneknya, “Jadilah seperti boneka daruma. Berapa kalipun ia terjatuh, ia akan selalu kembali berdiri tegak.”, ga lama setelah itu nenek si Nobita meninggal. Penggambaran di scene ini bener-bener ngena banget. Nobita digambarin nangis ala manga yang sampai menganak sungai berdiri sambil megang si daruma itu dengan erat. Terus di scene di berikutnya ada Nobita yang lagi belajar dengan daruma itu di sampingnya. Terus dia bilang gini,”Tenang nek, beberapa kalipun aku terjatuh, aku akan selalu kembali berdiri seperi daruma kenangan dari nenek. Nenek tenang saja di surga sana.”

Jujur ya, waktu baca cerita ini aku nangis. Kenapa? Karna aku bener-bener ngerasain gimana rasanya jadi Nobita. Dari kecil, dia selalu disayang dan dilindungi sama neneknya. Sama kayak aku. Dan ketika kehilangan neneknya, Nobita masih sekitar umur anak SD. Sama kayak aku. Ketika Nobita dijailin Giant sama Suneo, nenek akan selalu datang membela. Sama kayak aku. Di cerita tentang nenek Nobita ini, aku ngerasa kalau Nobita saat itu adalah aku.

Aku masih inget dengan jelas gimana nenek atau lebih sering aku panggil “uti” meninggal. Saat itu, aku masih kelas 3 SD. Masih suka berantem, bandel, seenaknya sendiri, pokoknya bener-bener jauh dari kesan anak baik-baik. Waktu itu udah malem banget, sekitar jam 12-an. Aku sama sekali ga bisa tidur. Saat itu, aku punya feeling yang ga enak. Mau tidur salah, engga tidur juga salah. Aku cuma tiduran di kamar ibu, sedangkan ibu masih di ruang keluarga sama keluarga lainnya. Uti waktu itu di rumah sakit di tungguin akung, ayah sama om. Beberapa menit kemudian, handphone ibu bunyi. Aku langsung manggil ibu kalau ada telefon. Ga beberapa lama setelah ibu nerima telfon, ibu nangis sambil bilang kalau uti udah engga ada. Uti udah pergi. Uti udah ga sama kita. Uti udah meninggal.

Saat itu, aku ngerasain ada yang sakit di dadaku. Setelah sebesar ini, aku sadar rasa sakit yang aku rasain itu namanya kehilangan. Aku cuma bisa duduk di atas tempat tidur sambil ngelihat ibu yang lagi ngasih tahu saudara lain di ruang keluarga. Waktu itu, bener-bener aku gatau harus ngapain. Jangankan turun dari tempat tidur, aku cuma bisa nengok ke kanan-kiri dengan tatapan kosong.

Sampai jam 6 pagi, aku ga bisa tidur. Cuma duduk di tempat tidur sambil ngelihat pakde, bude, om, tante, mbak & mas sepupu lain dengan tatapan kosong. Dan ga lama setelah itu ibu dateng buat nyuruh aku mandi soalnya beberapa menit lagi jenazah Uti sampai di rumah. Aku turun dari tempat tidur dan langsung ke kamar mandi. Waktu aku keluar dari kamar selesai mandi, di ruang keluarga udah banyak keluarga dengan baju yang isinya hitam semua. Ruang tamu udah di kosongin, ganti ada meja panjang disana dan digelari karpet.

Ga beberapa, jenazah Uti dateng dan langsung di taruh di meja panjang itu. Sebelumnya kita disuruh lihat untuk terakhir kalinya. Waktu aku lihat wajah Uti, beliau yang bener-bener senyum dari hati dan aura wajahnya yang bersih. Setelah itu kita sholat jenazah. Sampai di saat itu, rasa sakit yang kemudian aku sebut kehilangan itu masih bersarang di dadaku.Rumah semakin ramai. Tetangga, saudara jauh, kolega semuanya udah datang ke rumah untuk ngasih penghormatan terakhir buat Uti. Saat itu, aku ngerasain ada awan mendung di wajah tiap orang. Tepat jam 1 siang, akhirnya jenazah Uti dimakamkan di pemakaman keluarga besar akung.

Sepulangnya dari makam, aku masih melihat awan mendung di wajah keluargaku. Waktu itu aku bertanya-tanya, kok aku ga bisa baca perasaanku sendiri sih? Lainnya kayak ada awan mendungnya tapi kok aku ga bisa lihat awan mendungku? Sampai lulus SD, aku masih penasaran kenapa Cuma aku yang engga nangis dan ga bisa baca perasaanku sendiri.

Kelas 7 SMP. Saat itu aku sadar apa arti perasaan yang 4 tahun ini selalu aku bawa kemanapun. Kenapa aku engga nangis? Karena aku udah terlanjur shock duluan. Dari luar mungkin aku siap untuk ditinggal Uti tapi ternyata jiwaku atau hatiku engga cukup kuat ditinggal Uti. selama 9 tahun hidup bareng Uti, Uti adalah orang pertama yang selalu melindungiku. Bukan ibu, bukan ayah, bukan akung tapi Uti. kehilangan Uti ngebuat aku terpukul. Dan selama 4 tahun aku adalah seorang perempuan yang ga bisa di kontrol. Aku ngelakuin hal apapun yang aku mau tanpa memperhatikan apa yang orang bilang.

Sampai saat itu aku baca manga Doraemon Special dengan cerita nenek itu. Aku sadar, kalau aku jadi anak nakal gini Uti ga bakalan suka. Pasti Uti di atas sana kecewa lihat aku cucu kesayangannya jadi nakal dan seenaknya sendiri. Dan yang makin ngebuat aku merasa bersalah adalah Uti ga pernah sekalipun, selama 9 tahun aku kenal beliau ngebentak aku. Beliau bukan orang yang suka memakai nada tinggi ketika lagi ngomong sama aku. Inilah salah satu sifat Uti yang mungkin ga bisa aku miliki. Pelan tapi pasti, aku mulai belajar menghilangkan sifat itu walaupun sampai sekarang sifat jelek itu masih kadang keluar paling engga aku udah belajar mengendalikan sifat itu.

Sampai dengan saat aku nulis artikel ini, aku masih bisa nangis kalau aku inget Uti. buatku, beliau-lah perwujudan malaikat tanpa sayap. Malaikat yang selalu mencoba mengangkat aku untuk jadi orang yang lebih baik dan lebih baik. Dan aku sangat-amat-sangat berterima kasih dengan manga Doraemon Special itu. Mungkin kalau aku ga ngebaca cerita itu, aku masih seorang Ghiffa yang berandalan.
Itulah pengalamanku belajar dari manga. Mungkin kedengaran basi, tapi percaya deh, suatu saat kalian juga pasti akan mengalaminya. Satu quote dariku....

“Hargailah tiap kenangan yang tercipta dengan semua orang yang menyayangi ataupun kita sayangi. Karena ketika mereka telah pergi dari sisi kita, kenangan itulah yang akan menghangatkan hati dan perasaan kita :’)”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar